ALLA HI ALLAH KIYA KARO (feat. Irfan Makki)


ALLA HI ALLAH KIYA KARO (feat. Irfan Makki)

Allah hi Allah kia kero
dukh na kisi ko diya kero
jo duniya ka malik hai
naam ussi ka liya kero
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…
kab chehray pe jhoot saja ke mitti hai sachai
jhootay ko duniya mein hamaisha milti hai rusvaye
sach ki raah pe chala karo.
dukh na kisi ko diya kero
jo duniya ka malik hai
naam ussi ka liya kero
Allah hi Allah
Allah hi Allah kia kero
dukh na kisi ko diya kero
jo duniya ka malik hai
naam ussi ka liya kero
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…
sheeha toot ke jur sakta hai, dil na juray ger totay
kitna hai bedard woh insaan pyar ka ghar jo lootay
aisa zulm na kia kero
dukh na kisi ko diya kero
jo duniya ka malik hai
naam ussi ka liya kero
Allah hi Allah
Allah hi Allah kia kero
dukh na kisi ko diya kero
jo duniya ka malik hai
naam ussi ka liya kero
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…
Khud Gharzi Ki Iss Duniya main pyar se jeena seekho
yoon logon ka dil na dukhao, Rab se darna seekho
sab se mohabbat kia karo
dukh na kisi ko diya kero
jo duniya ka malik hai
naam ussi ka liya kero
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…
Allah hi Allah…

Lenka - Trouble Is a friend


Lenka - Trouble Is a friend

Trouble will find you no mater where you go, oh oh.
No Matter if you're fast no matter if you're slow, oh oh.
The eye of the storm and the cry in the morn, oh oh.
Your fine for a while but then start to loose control.

Chorus 1:
He's there in the dark,
he's there in my heart,
he waits in the winds
he's gotta play a part.
Trouble is a friend,
yeah trouble is a friend of mine. oh oh!

Trouble is a friend but trouble is a foe, oh oh.
And no matter what I feed him he always seems to grow, oh oh.
He sees what I see and he knows what I know, oh oh.
So don't forget as you ease on down the road.

Chorus 1

Chorus 2:
So don't be alarmed if he takes you by the arm.
I won't let him win, but im a sucker for his charm.
Trouble is a friend,
yeah trouble is a friend of mine. Oh oh!

Oh how I hate the way he makes me feel.
And how I try to make him leave; I try.
Oh Oh I try!

Chorus 1

Chorus 2

Oh, Oh.

Justin Bieber-Baby
















Justin Bieber-Baby
Oh woooah, oh woooooah, oh wooooah, oh.
You know you love me, I know you care,
you shout whenever and I’ll be there.
You are my love, you are my heart
and we will never ever ever be apart.
Are we an item? girl quit playing,
we’re just friends, what are you saying.
Said there’s another, look right in my eyes,
my first love broke my heart for the first time.
And I was like…

[Chorus]
Baby, baby, baby oooooh,
like baby, baby, baby noooooooo,
like baby, baby, baby, ooooh.
Thought you’d always be mine, mine (repeat)

[Justin Beiber]
Oh, for you I would have done whatever,
and I just can’t believe we aint together
and I wanna play it cool the thought of losing you
I buy you anything, I buy you any ring,
and now please say baby fix me and you shake me til’ you wake me from this bad dream.
I’m going down down down down
and I just can’t believe my first love won’t be around.
And I’m like…

[Chorus]

[Ludacris]
Luda, When I was 13 I had my first love,
there was nobody that compared to my baby
and nobody came between us, no-one could ever come above
She had me going crazy, oh I was star-struck,
she woke me up daily, don’t need no Starbucks.
lyrics courtesy of killerhiphop.com
She made my heart pound, I skip a beat when I see her in the street and
at school on the playground but I really wanna see her on the weekend.
She knows she got me dazing coz she was so amazing
and now my heart is breaking but I just keep on saying….

[Chorus]

Now I’m gone,
Yeah, yeah, yeah, yeah, yeah, yeah,
yeah, yeah, yeah, yeah, yeah, yeah,
yeah, yeah, yeah, yeah, yeah, yeah,
now I’m all gone.
Gone, gone, gone, gone, I’m gone.

MENGAKTIFKAN INDRA KE ENAM UNTUK MELIHAT ALLAH


"Dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya."
(QS. Al-Israa’ [17]: 72)

Mendengar kata ‘indera keenam’ pasti yang terbayang dalam benak kita adalah orang-orang sakti yang memiliki ilmu kanuragan tinggi, sakti mandraguna, bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat, dan bisa merasakan apa yang orang lain tidak rasakan.
Manusia sebenarnya memiliki enam indera.
Namun yang kita tahu selama ini hanyalah lima indera saja atau yang biasa disebut ‘panca indera’. Fungsi dan mekanisme kerja indera keenam dan panca indera sangat berbeda.

Panca indera terdiri dari mata, telinga, hidung, lidah dan kulit.
Dengan berbagai penjelasan tidak diragukan lagi bahwa lima indera yang kita miliki semuanya serba terbatas, kondisional, dan seringkali tertipu oleh hal-hal yang sebenarnya jelas namun terinterpretasi secara tidak jelas.
Sebenarnya manusia memiliki indera yang lebih hebat lagi dibandingkan dengan panca indera. Itulah indera keenam. Setiap orang memiliki indera keenam yang bisa berfungsi melihat, mendengar, merasakan, dan membau sekaligus. Indera tersebut yakni hati kita. Akan tetapi beberapa potensi fungsi hati di atas tidak pernah mampu kita maksimalkan. Kenapa? karena memang kita tidak pernah melatihnya.

Manusia terlahir sudah memiliki indera keenam yang berfungsi dengan baik. Karena itu seorang bayi dapat melihat ‘dunia dalamnya’. Ia menangis dan tertawa sendiri karena melihat ada ‘dunia lain’. Seorang anak pada masa balitanya bisa melihat dunia jin misalnya. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya waktu, kemampuan indera keenam tersebut menurun drastis. Sebabnya adalah orang tua kita tidak melatih indera keenam kita. Mereka lebih melatih panca indera kita untuk memahami dunia luar. Orangtua kita sangat risau apabila kita tidak bisa menggunakan panca indera kita dengan baik. Namun sebenarnya kemampuan penginderaan hati kita jauh lebih dahsyat.

Hati kita bisa merasakan, melihat, dan mendengar apa yang tidak dirasakan, dilihat, dan didengar oleh panca indera. Kita bisa ‘kenalan’ dengan Allah SWT hanya dengan cara mengaktifkan fungsi hati kita dengan baik. Kita bisa melihat Allah hanya dengan hati kita, bukan dengan mata. Kita bisa merasakan adanya Allah bukan dengan kulit kita, namun dengan hati. Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam Alqur’an akan pentingnya menghidupkan hati, dalam Alqur’an surat Al-Israa’ [17] ayat 72 disebutkan:

“dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya”.

Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabat akan pentingnya mengedepankan fungsi hati sebagai raja bagi kehidupan. Apabila kita menjadikan akal kita sebagai raja dan hati menjadi pengawalnya, maka tunggulah kehancuran hidup kita. Hati kita akan tertutup dengan bercak hitam sehingga kita tidak mampu mengenal Allah. Akal menjadi raja untuk diri kita karena kita membiasakan diri menilai kebahagiaan hidup hanya melalui apa yang dirasakan di dunia ini saja. Yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh lidah dan kulit, semuanya diinterpretasikan di otak (akal). Sehingga kitapun lebih memercayai rasio, logika dan nalar kita untuk mengukur kebahagiaan hidup. Pola ini akan membawa kita pada pola hidup yang mengandalkan akal dan mengesampingkan hati nurani. Banyak orang yang pintar dan cerdas dalam menguasai suatu ilmu namun kering akan ruhani ketuhanan. Mereka tidak mampu melihat sesuatu yang metafisik, sesuatu dibalik segala ciptaan yang tak terbatas. Mereka akhirnya juga tidak mampu mereguk nikmatnya ibadah dan tidak mampu merasakan kehadiran Allah SWT.

Berbeda halnya apabila hati kita yang menjadi raja bagi diri kita. Kita akan bisa merasakan kehadiran Allah SWT dalam hidup kita. Dalam kehidupan sosial, kita juga bisa merasakan apa yang orang lain rasakan (peka). Oleh karena itu jadikanlah hati sebagai raja bagi diri kita.

Orang yang tidak melatih hatinya saat hidup di dunia – sehingga hatinya tertutup – maka mereka akan dibangkitkan oleh Allah SWT di akhirat nanti dalam keadaan buta. Dalam surat Thahaa [20] ayat 124 disebutkan:

“Barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.


BAHAYA PONSEL


Dr.Ronald B Herberman ( University Of Pittsburgh cancer Institute ) memberikan 10 tips menghindarkan kanker pada otak dan ganguan kesehatan lain yang sangat mungkin terjadi pada anda maupun anak anda berkaitan dengan penggunaan ponsel :

  1. Jangan biarkan anak kecil main handphone : kecuali dalam kondisi darurat , maka penggunaan hp pada anak kecil akan mengganggu organ yang berkembang pada janin atau anak yang masih sensitive pada gelombang elektromagnetik .lebih baik hapus semua game pada hp anda untuk mencegah anak anda bermain hp.
  2. Jauhkan hp dari tubuh ketika menggunakannya , usahakan menggunakan speaker phone atau wireless bluetooth head set untuk menurunkan pengaruh kekuatan gelombang elektromegnetik pada otak.
  3. Hindari penggunaan ponsel di tempat umum , sama dengan menjangkiti orang lain dengan gelombang elektromagnetik.
  4. Hindari membawa ponsel di badan setiap saat , jangan dekatkan ponselpada tubuh anda apalagi pada malam hari . anda yang biasa tidur dengan ponsel dibawah bantal atau meja tempat tidur , atau sekedar mendengarkan musik lewat hp sampai tertidur , sebaiknya mengubah kebiasaan anda apalagi bila anda dalam keadaan hamil , mode off line adalah cara terbaik mengehemtikan penerimaan elektromagnetik.
  5. hadapkan bagian keyboard ke tubuh saat mengantongi hp. Bagian belakang ponsel adalah bagian pemancar gelombang elektromagnetik.
  6. kontak boleh dilakukan untuk percakapan singkat, bicara lebih lama gunakan telephone biasa
  7. Jangan mendengarkan nada sambung, lagu indah pada saat menunggu telephone diangkat akan meningkatkan resiko terpapar medan elektromagnetik kuat karena saat itulah sinyal bekerja dengan kuat.
  8. hindari penggunaan hp saat sinyal lemah ,saat bergerak atau menaiki kendaraan , saat seperti ini hp secara otomatis menaikkan kekuatannya hingga maksimum karena hp berulang kali mencari relay baru.
  9. SMS lebih disarankan , menghidari jarak eksposure elektromagnetik , chatting lebih aman bagi kesehatan .
  10. pilih handhset dengan SAR (specific absorpsion rate ) terendah , merupakan ukuran gelombang elektromagnetik yang dapat diserap tubuh , tiap pabrikan berbeda SARnya bisa dilihat melalui internet dengan menuliskan “sar rating cell phones”.

Sayangi otak dan tubuh anda ... handphone ada sparepartnya .. sedangkan tubuh anda terutama anak anda yang masih berkembang ??? semoga bermanfaat.. .

IQ, EQ dan SQ


Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.
Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (193 dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Di Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid - Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).
Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik) !
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter.Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa : “BUKAN SEBERAPA CERDAS ANDA TETAPI BAGAIMANA ANDA MENJADI CERDAS !
”Sumber Bacaan :
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Akhmad Sudrajat. 2006. Psikologi Pendidikan. Kuningan : PE-AP Press
Ary Ginanjar Agustian. 2001. ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual. Jakarta : Arga.
Basyar Isya. 2002. Menjadi Muslim Prestatif. Bandung : MQS Pustaka Grafika
Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl. 2002. Accelerated Learning for The 21st Century (terj. Dedi Ahimsa). Bandung : Nuansa.
Daniel Goleman.1999. Working With Emotional Intelligence. (Terj. Alex Tri Kancono Widodo), Jakarta : PT Gramedia.
E.Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Gendler, Margaret E. 1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York: McMillan Publishing.H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung : AlfabetaSyamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung: PT Rosda Karya Remaja.

Membangun kecerdasan secara Intelektual, Emosional dan Spiritual



Membangun kecerdasan secara Intelektual, Emosional dan Spiritual
irhamna82@yahoo.com


Pendahuluan
Semua orang pasti sepakat bahwa untuk menggapai kesuksesan harus memiliki “kecerdasan”. Tetapi seringkali kecerdasan yang dimaksudkan adalah kecerdasan intelektual (Intelectual/Intelegency Quotient-IQ) saja. IQ dianggap sebagai barometer kecerdasan bahkan kesuksesan seseorang sehingga tes IQ sering digunakan sebagai alat untuk menyeleksi calon siswa atau menyeleksi calon karyawan. Baru pada awal tahun 1990-an anggapan itu mulai bergeser setelah terbit buku tentang Kecerdasan Emosional (Emotional Intellegence-EI) yang ditulis oleh Daniel Goleman yang menjelaskan bahwa skor IQ yang tinggi belum cukup untuk menjamin kesuksesan seseorang dalam dunia kerja tetapi diperlukan kecerdasan emosional (Emotional Quotient-EQ) untuk memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan kemanusiaan. Dari penelitian Goleman diungkapkan bahwa karyawan yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, meskipun IQ-nya tidak terlalu tinggi, dapat meraih kesuksesan dalam dunia kerja.
Disaat EQ masih hangat dalam pembicaraan para ahli atau praktisi, pada awal tahun 2000-an, Danah Zohar dan Ian Marshal mengungkapkan ada kecerdasan lain yang lebih paripurna yaitu Spiritual Quotient (SQ). Mereka merangkum berbagai penelitian sekaligus menyajikan model SQ sebagai kecerdasan paripurna (Ultimate Intellegence). SQ adalah kecerdasan yang berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk menarik makna dari setiap kejadian yang dialaminya. Seseorang dapat mencapai kesuksesan dengan IQ dan EQ, tetapi ia akan mengalami kehampaan dalam hidupnya kalau tanpa memiliki SQ. Secara neurobiologis, baik IQ, EQ dan SQ memiliki struktur biologisnya. IQ dalam otak besar, EQ dalam otak bagian dalam (otak kecil), sedangkan SQ terletak pada sebuah titik yang disebut titik Tuhan (God Spot) yang terletak di bagian kanan depan. God spot ini akan terlihat lebih terang jika seseorang sedang menjalani aktivitas spiritual. Akan tetapi, SQ yang dikenalkan oleh Danah Zohar dan Ian Marshal belum menyentuh aspek ketuhanan dalam kaitannya dengan nilai-nilai agama. Aktivitas spiritual tersebut dapat juga dilakukan oleh seorang Atheis dalam bentuk kontemplasi atau perenungan tentang makna hidup atau sering juga disebut meditasi. Pada tahun 2001, Ary Ginanjar Agustian memberikan sentuhan spiritualitas Islam pada IQ, EQ, dan SQ dalam bukunya, “Rahasia sukses membangun kecerdasan emosi dan spiritual berdasarkan 6 rukun Iman dan 5 rukun Islam”. Ary Ginanjar Agustian menyatakan bahwa IQ baru sebagai syarat perlu tetapi tidak cukup untuk meraih kesuksesan. Sementara EQ yang dipahami hanya sebatas hubungan antar manusia. Sementara SQ sering dipahami sebagai sikap menghindar dari kehidupan dunia. Hal ini mengakibatkan lahirnya manusia yang berorientasi pada dunia dan di sisi lain ada manusia yang lari dari permasalahan dunia untuk menemukan kehidupan yang damai. Dalam Islam kehidupan dunia dan akhirat harus terintegrasi dalam pikiran, sikap dan prilaku seorang muslim.
Dari sinilah muncul pemikiran bahwa pendidikan harus mampu menyentuh IQ, EQ dan SQ dalam satu kesatuan yang utuh. Oleh karena itu, pendidikan yang ada sekarang masih memiliki kecenderungan pada IQ sehingga perlu diimbangi pula dengan pendidikan EQ dan SQ. Hal ini semestinya berlaku pada setiap jenjang pendidikan tidak terkecuali pendidikan di perguruan tinggi.
Dengan latar belakang tersebut, maka tulisan ini memiliki fokus yaitu bagaimana membina mahasiswa agar memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual untuk menunjang kesusksesan di masa depan. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai pengertian IQ, EQ dan SQ, hubungan antara ketiganya, pengaruhnya terhadap kesuksesan seseorang dalam hal ini mahasiswa, serta model pembinaan yang dapat dilakukan yang didasarkan pada IQ, EQ dan SQ yang memiliki nilai-nilai Islam.




Pengertian IQ, EQ dan SQ
Intellegency Quotient (IQ)
Dalam Armansyah (2002) dinyatakan bahwa IQ merupakan kecerdasan seseorang yang dibawa sejak lahir dan pengaruh didikan dan pengalaman (Toha, 2000). IQ adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental (Robin, 1996). Unsur-unsur yang terdapat di dalam IQ adalah: kecerdasan numeris, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, ingatan (Robin, 1996).Menurut David Wechsler (Armansyah, 2002), inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir rasional itu.


Emotional Quotient (EQ)
Emotional Quotient (EQ) merupakan kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi (Cooper dan Sawaf, dalam Armansyah, 2002). Peter Salovey dan Jack Mayer (dalam Armansyah, 2002) mendefenisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.Goleman (Armansyah, 2002) mempopulerkan pendapat para pakar teori kecerdasan bahwa ada aspek lain dalam diri manusia yang berinteraksi secara aktif dengan aspek kecerdasan IQ dalam menentukan efektivitas penggunaan kecerdasan yang konvensional tersebut. Ia menyebutnya dengan istilah kecerdasan emosional dan mengkaitkannya dengan kemampuan untuk mengelola perasaan, yakni kemampuan untuk mempersepsi situasi, bertindak sesuai dengan persepsi tersebut, kemampuan untuk berempati, dan lain-lain. Jika kita tidak mampu mengelola aspek rasa kita dengan baik, maka kita tidak akan mampu untuk menggunakan aspek kecerdasan konvensional kita (IQ) secara efektif.Penelitian tentang EQ dengan menggunakan instrumen BarOn EQ-i membagi EQ ke dalam lima skala: Skala intrapersonal: penghargaan diri, emosional kesadaran diri, ketegasan, kebebasan, aktualisasi diri; Skala interpersonal: empati, pertanggungjawaban sosial, hubungan interpersonal; Skala kemampuan penyesuaian diri: tes kenyataan, flexibilitas, pemecahan masalah; Skala manajemen stress: daya tahan stress, kontrol impuls (gerak hati); Skala suasana hati umum: optimisme, kebahagiaan (Stein dan Book, dalam Armansyah, 2002). Spiritual Quotient (SQ)Spiritual Quotient (SQ) adalah aspek konteks nilai sebagai suatu bagian dari proses berpikir/berkecerdasan dalam hidup yang bermakna Zohar dan Marshal, dalam Armansyah, 2002). Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini dalam pandangan Danah Zohar dan Ian Marshal meliputi kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang sesuatu secara holistik, serta berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya, dan lain-lain.Bagi Danah Zohar dan Ian Marshal spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab menurutnya seorang humanis ataupun atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Hal ini berbeda dengan pandangan Ary Ginanjar Agustian (2001) bahwa penemuan tentang SQ ini justru telah membuktikan kebenaran agama Islam tentang konsep fitrah sebagai pusat spiritualitas. Dalam kajian Zohar dan Marshal, pusat spiritualitas secara neuro-biologis disebut God Spot yang terletak pada bagian kanan depan otak. God Spot ini akan bersinar saat terjadi aktivitas spiritual. Dalam konsep Islam, God Spot itu diasosiakan dengan nurani, mata hati atau fitrah. Fitrah adalah pusat pengendali kebenaran yang secara built-in ada pada diri manusia yang dihunjamkan oleh Allah SWT pada jiwa manusia pada saat perjanjian primordial (QS. al-A’raf : 179).


Hubungan IQ, EQ dan SQ
IQ vs EQ
Dalam kurun waktu yang lama IQ sering dijadikan patokan standar kualitas manusia. Skor IQ yang tinggi berarti memiliki kecerdasan yang baik dan dapat meraih kesuksesan dengan baik pula. Walapun skor IQ memiliki teknik penilainnya sendiri, IQ sering juga dikaitkan dengan nilai akademik seperti ranking prestasi siswa, indek prestasi kumulatif (IPK) mahasiswa atau skor tes potensi akademik (TPA). Anggapan ini sering mengelabui para guru, orang tua atau pihak lain yang berkepentingan dalam dunia pendidikan. Guru selalu bersusah payah untuk meningkatkan nilai rata-rata siswa, perguruan tinggi menjadikan IPK sebagai standar prestasi para lulusan dan TPA sering dijadikan standar tes seleksi masuk sebuah perguruan tinggi atau perusahaan. Memang IQ sangat berperan penting bagi setiap orang dalam menggapai kesuksesan. Tetapi, jika IQ menjadi tolak ukur satu-satunya, maka akan melahirkan generasi yang cerdas secara intelektual tetapi tidak punya nurani. Bahkan cenderung membentuk manusia-manusia robot yang menjalankan tugas secara rasional dan teknis tanpa mempertimbangkan aspek emosional. IQ adalah syarat perlu bagi setiap orang tetapi tidak mencukupi untuk dijadikan faktor kesuksesan seseorang. Sementara itu, seringkali kita mendapatkan seseorang yang memiliki nilai akademik tidak terlalu baik tetapi memiliki prestasi yang meyakinkan di perusahaannya. IQ yang diberi sentuhan EQ, meliputi sikap empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat, akan menjadi kekuatan seseorang dalam menyelesaikan masalah dengan pertimbangan aspek emosional. Bagi seorang manajer keterpaduan antara IQ dan EQ mutlak diperlukan. Bagi para mahasiswa, aktif dalam organisasi kemahasiswaan adalah sarana untuk mengasah EQ mahasiswa, sementara IQ-nya diasah dalam aktivitas akdemik di ruang kuliah. Karena kita masih mendapatkan orientasi pendidikan di perguruan tinggi masih mengunggulkan pencapaian akademik (IQ) sementara peningkatan EQ masih bersifat informal.


EQ vs SQ
Pencapaian kesuksesan dengan mengandalkan IQ dan EQ akan sampai pada suatu titik dimana kebermaknaan dalam kehidupan ternyata belum tersentuh. Seringkali para manajer yang dianggap sukses seringkali bermasalah dengan makna hidup. Ada ruang yang hampa dalam diri seseorang ketika telah mencapai kesuksesan. Kecenderungan yang terjadi adalah manusia modern yang matrealistik mencari suasana yang sunyi dalam bentuk kontemplatif atau meditasi. Mereka mendambakan kesunyian dalam hidup setelah beberapa lama bergelut dengan aktivitas yang padat. Kesadaran dan kemampuan yang tumbuh dari dalam (internal) untuk menemukan makna hidup disebut Spiritual Quotient (SQ). SQ telah menjadi semacam alternatif pemecahan masalah atas kebisingan dan hiruk pikuk aktivitas manusia yang miskin makna. Orientasi kebendaan beralih menjadi orientasi ruhani.


ESQ Way 165®
Menurut Ary Ginanjar Agustian (2001), EQ yang dimaksud dalam literatur barat masih seputar hubungan antara manusia. Sementara SQ, terutama menurut pandangan Danah Zohar dan Ian Marshal, tidak harus dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab seorang humanis ataupun atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. EQ dan SQ dalam kajian tersebut bahkan tidak terjadi sinkronisasi. Padahal, antara IQ, EQ dan SQ harus dikaji secara holistik integratif sehingga akan menjadi suatu kecerdasan yang sempurna. Kalau setiap kecerdasan tidak menyatu, maka akan terjadi standar ganda, yaitu suatu sikap yang membagi waktu dalam hidup untuk kegiatan spiritual dan non spiritual, hari ini untuk bekerja dan esok untuk beribadah. Hal ini bertentangan dengan prinsip dalam Islam bahwa seluruh pola pikir, rasa dan tindak adalah ibadah (spiritual).
ESQ yang dikonsepkan oleh Ary Ginanjar Agustian (2001) adalah IQ, EQ dan SQ dalam satu kesatuan pada prinsip ke-Ilahi-an yang dibangun melalui 6 prinsip yang berdasarkan rukun Iman dan 5 strategi berdasarkan rukun Islam. Berbagai penelitian tentang EQ dan SQ justru semakin menegaskan kemulian Islam yang sangat jelas memiliki konsep IQ, EQ dan SQ yang lebih sempurna. Model yang disajikan oleh Ary Ginanjar Agustian adalah model ESQ Way 165®. Formasi ESQ Model ini dibentuk dan diilhami oleh mekanisme gerakan berputar (thawaf) alam semesta raya ini (makrokosmos) dan gerakan berputar elektron dan inti atom (mikrokosmos). Begitu pula pada dimensi fisik dan dimensi emosi yang mengorbit kepada dimensi spiritual, maka disebut sebagai spiritualkosmos.ESQ Model adalah sebuah model untuk membangun dan mengasah Kecerdasan Spiritual dan Emosional. Aktivitas fisik (IQ) dibimbing, diarahkan dan dikendalikan oleh 5 langkah bersumber pada nilai Rukun Islam (The Principle of Islam). Kecerdasan Emosi (EQ) dibentuk dan dibangun oleh 6 prinsip yang bersumber dari nilai Rukun Iman (The Principle of Faith). Kecerdasan Spiritual (SQ) berisi suara hati Ilahiah (Fitrah) bersumber dari percikan Asmaa’ul-Husna yang bersifat Universal. Seluruh gerakan ber-Thawaf mengelilingi titik Tuhan (God Spot) seperti gerakan alam semesta (Ihsan).
Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual
Sejak awal terbitnya buku tentang ESQ yang ditulis oleh Ary Ginanjar Agustian, penulis menaruh apresiasi terhadap konsep-konsep yang disajikan olehnya. Model ESQ Way 165® menambah khajanah intelektual Islam untuk merespon perkembangan ilmu penegatahuan barat tetapi dengan cara yang ilmiah pula yang bercirikan pada prinsip-prinsip Islam yang generik. Oleh karena itu, pada makalah ini yang menjadi model untuk membangun kecerdasan emosi dan spiritual adalah model ESQ Way 165®. Model tersebut menyajikan langkah-langkah dalam upaya membangun dan memelihara ESQ, yaitu :
Langkah
Lakukan
Jernihkan hati (Zero Mind Process)
Hidupkan Cahaya Hati (God Spot)
Bangun Mental (Mental Building)
Bangun Ketangguhan Pribadi (Personal Strength)
Bangun Ketangguhan Sosial (Social Strength)
Istighfar
Dzikir Asmaul Husna
Tasbih, Tahmid, Tahlil, & Takbir
Syahadat, Shalat dan Puasa Zakat dan Haji
Penjernihan hati (Zero Mind Process)
God Spot, suara hati, atau fitrah adalah barometer kebenaran yang mengendalikan aktivitas pikir, sikap dan prilaku manusia. Fitrah akan menjaga manusia untuk selalu berada pada koridor kebenaran. Akan tetapi, karena pengaruh eksternal fitrah dapat terbelenggu oleh noda-noda sehingga tidak dapat mengukur kebenaran dengan baik. Pada dasarnya fitrah adalah cerminan dari Asmaul Husna. Dalam kondisi yang suci fitrah akan membenarkan/membisikan sesuatu kebenaran apa adanya yang bersandar kepada Asmaul Husna. Ketika seseorang melihat seorang anak kecil yang meminta-minta maka pada dirinya akan timbul rasa belas kasih sebagai cerminan sifat Rahman dan Rahim Allah SWT. Fitrah setiap manusia akan memiliki sifat seperti itu. Hal-hal yang dapat menutupi kesucian fitrah adalah : prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan dan prioritas, sudut pandang, pembanding dan literatur. Perjernihan hati (Zero Mind Process) adalah upaya membersihkan nurani atau fitrah (hati) dari ketujuh aspek tersebut.
Menghidupkan Cahaya Hati (God Spot)
Tahap Zero Mind Process lebih ke arah pengobatan nurani/pembersihan hati, sementara pada tahap ini, kita cenderung aktif dalam memfungsikan fitrah sebagai radar kebenaran. Pembersihan hati dapat dilakukan dengan istigfar secara pikiran, lisan dan perbuatan, sedangkan menghidupkan cahaya hati melalui dzikir Asmaul Husna yang tercermin dalam pola pikir, pola sikap dan pola tindak.
Membangun Mental (Mental Building)
Pembangunan mental dilakukan untuk memperkuat pondasi hidup yang kuat yang berlandaskan pada 6 prinsip dari rukun Iman. Berikut ini adalah 6 prinsip untuk membangun mental beserta karakter-karakter yang dapat dikembangkan.
1. Prinsip Bintang (Star Principle) – Iman kepada Allah SWT
a. Rasa aman
b. Kepercayaan diri
c. Integritas
d. Kebijaksanaan
f Motivasi
2. Prinsip Malaikat (Angel Principlei) – Iman kepada para Malaikat
a. Loyalitas
b. Komitmen
c. Kebiasaan memberi dan mengawali
d. Kebiasaan menolong
f. Saling percaya
3. Prinsip Kepemimpinan (Leadership Principle) – Iman kepada para Rasul
a. Pemimpin yang dicintai
b. Pemimpin yang dipercaya
c. Pembimbing
d. Pemimpin yang berkepribadian
f. Pemimpin yang abadi
4. Prinsip Pembelajaran (Learning Principle) – Iman kepada Kitab-kitab Allah
a. Kebiasaan membaca buku dan situasi
b.Kebiasaan berpikir kritis
c. Kebiasaan mengevaluasi
d. Kebiasaan menyempurnakan
e. Memiliki pedoman
5. Prinsip Masa Depan (Vision Principle) – Iman kepada Hari Akhir
a. Ketenangan batiniah
b. Jaminan masa depan
c. Kendali diri dan sosial
d. Optimalisasi upaya
e. Berorientasi tujuan
6. Prinsip Keteraturan (Well Organized Principle) – Iman kepada Qada dan Qodar
a. Orientasi pemeliharaan sistem – menjaga sinergi
b. Orientasi pembentukan sistem – prinsip sinergi
c. Pemahaman arti proses
d. Kepastian hukum sosial
e. Kepastian hokum alam
Membangun Ketangguhan Pribadi (Personal Strength)
Orang yang telah memiliki ketangguhan pribadi adalah orang yang telah berpegang teguh pada 6 prinsip pembangunan mental (mental building). Dalam pelaksanaannya, untuk membangun pribadi tangguh ada tiga langkah sukses yaitu :
1. Penetapan Misi (Mission Statement) – Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat
a. Membangun misi kehidupan
b. Membulatkan tegad
c. Membangun visi
d. Menciptakan wawasan
e. Transformasi visi
f. Komitmen total
2. Pembangunan karakter (Character building) – Ibadah Sholat
a. Relaksasi
b. Membangun kekuatan afirmasi
c. Meningkatkan ESQ
d. Membangun pengalaman positif
f. Pembangkit dan penyeimbang energi bathiniyyah
g. Pengasahan prinsip
3. Pengendalian diri (Self Controlling) – Ibadah Shaum
a. Meraih kemerdekaan sejati
b. Memelihara fitrah
c. Mengendalikan suasana hati
d. Meningkatkan kecakapan emosi secara fisiologis
e. Pengendalian prinsip
Membangun Ketangguhan Sosial (Social Strength)
Sementara 3 rukun Islam yang pertama yaitu membaca 2 kalimat syahadat, ibadah sholat dan shaum dapat membangun ketangguhan pribadi, maka ibadah zakat dan ibadah haji dapat membangun ketangguhan sosial. Berikut ini adalah 2 langkah sukses membangun ketangguhan sosial.
1. Sinergi (Strategic Collaboration) – Ibadah zakat
a. Investasi kepercayaan
b. Investasi komitmen
c. Membangun landasan koperatif
d. Investasi kredibilitas
e. Investasi keterbukaan, empati, dan kompromi
2. Aplikasi Total (Total action)
a. Langkah zero mind – Ihrom
b. Pengasahan komitmen dan integritas – Thawaf
c. Pengasahan Adversity Quotient (AQ) – Sa’i
d. Evaluasi dan visualisasi - - Wuquf
e. Hadapi tantangan – Lontar jumroh
f. Sinergikan – Jamaah haji


Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta : Penerbit Arga.
Armansyah.(2002).”Intelegency Quotient, Emotional Quotient, dan Spiritual Quotient dalam Membentuk Prilaku Kerja”. Jurnal Manajemen dan Bisnis. 02, (01), 23-32.
Zohar, Danah dan Marshal, Ian. (2000). SQ : Spiritual Intelligence the Ultimate Intelligence. London : Bloomsbury.